Damai sejahtera Allah, yang
melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.
Flp. 4:7.
Ada sebuah kisah kuno dari Tiongkok:
Ada seorang petani tua yang memiliki seekor kuda yang digunakan untuk mengolah ladangnya. Suatu hari kuda tersebut melarikan diri di bukit-bukit dan ketika para tetangganya mendengar berita itu, mereka bersimpati kepada orang tua atas nasib buruknya. Namun jawab si petani itu, "Nasib buruk? Nasib baik? Siapa yang tahu?"
Seminggu kemudian, kuda itu kembali dengan membawa kawanan kuda liar dari pegunungan dan kali ini para tetangga mengucapkan selamat kepada petani tua akan keberuntungannya. "Nasib baik? Nasib buruk? Siapa yang tahu?" kata si petani tua itu.
Kemudian, ketika anak si petani tua itu berusaha menjinakkan salah satu kuda liar, ia terjatuh dari punggung kuda itu dan kakinya patah. Semua tetangganya kembali setuju bahwa ini adalah sebuah keberuntungan yang sangat buruk. Petani itu menjawab, "Nasib buruk? Nasib baik? Siapa yang tahu?"
Beberapa minggu kemudian, tentara dari pemerintah masuk ke desa-desa dan memaksa setiap pemuda yang berbadan sehat untuk pergi berperang dalam perang yang berdarah. Ketika mereka melihat bahwa anak petani tua ini mengalami patah kaki, mereka tidak memilihinya. Beberapa minggu setelah peperangan, ada berita bahwa banyak anak-anak dari tetangga si petani tua itu berguguran di medan perang. Semua penduduk desa itu bersedih hati dan berkata kepada si petani tua itu sangat beruntung bahwa anaknya tidak ikut dalam perang. Petani tua itu kembali menjawab, "Nasib baik? Nasib buruk? Siapa yang tahu?"
THINGS TO LEARN:
Kejadian dalam kehidupan kita ini mirip kisah di atas. Kadang sepertinya segala sesuatu berjalan lancar sebagaimana mestinya, namun di lain waktu, segala sesuatu berjalan di dalam situasi yang buruk. Nah, pertanyaannya apakah kita membiarkan perasaan 'up and down' karena keadaan semacam itu mendikte kehidupan dan cara pandang kita terhadap kehidupan ini? Apakah ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, lalu perasaan kita menjadi sukacita dan berpikir Immanuel - Tuhan beserta kita? Tapi jika sebaliknya, ketika kita sedang dalam situasi yang buruk, lalu perasaan kita menjadi patah semangat dan berpikir bahwa Tuhan meninggalkan kita?
Lagi-lagi kita belajar dari rasul Paulus di dalam Filipi 4. Rasul Paulus telah belajar untuk bersukacita (ay. 4 - Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!), bahkan dia mengalami damai sejahtera dalam semua keadaan (ay. 7). Rasul Paulus bersukacita ketika hal-hal baik terjadi dalam hidupnya, namun dia pun bersukacita ketika hal-hal buruk itu terjadi - ingat, waktu dia menulis surat kepada jemaat di Filipi, mereka sedang terancam aniaya dan dia sedang di dalam penjara. Sepertinya anjuran nats di atas tidak realistis dan mustahil untuk dilakukan, tetapi perintah ini dianjurkan (ay. 4) oleh rasul Paulus, saat dia mengalami penderitaan!
Mengapa rasul Paulus bisa mengalami kebahagiaan dan sukacita yang luar biasa? Karena rasul Paulus mempunyai damai sejahtera dari TUHAN, yang melampaui segala akal, di dalam Kristus Yesus. Sukacitanya tidak tergantung pada situasi baik maupun buruk, sukacitanya tidak tergantung pada peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Tapi sukacita yang keluar dari hati, jiwa dan pikiran yang telah dipenuhi damai sejahtera TUHAN Yesus Kristus.
Persoalan hidup bisa saja membebani kita secara fisik, emosi dan rohani, namun saat kita belajar mempercayai TUHAN, maka kita dapat memiliki kedamaian yang tidak hanya melampaui segala pemahaman, tetapi juga mengatasi kecemasan kita, karena TUHAN telah membuat hati, jiwa dan pikiran kita menjadi tenang. Sehingga kita dapat berkata, bahwa segala sesuatu TUHAN turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia ( Roma 8:28 ). - Nah, pertanyaan terakhir, apakah kita sekarang telah memiliki damai sejahtera dari TUHAN YESUS KRISTUS, seperti rasul Paulus?
Ada sebuah kisah kuno dari Tiongkok:
Ada seorang petani tua yang memiliki seekor kuda yang digunakan untuk mengolah ladangnya. Suatu hari kuda tersebut melarikan diri di bukit-bukit dan ketika para tetangganya mendengar berita itu, mereka bersimpati kepada orang tua atas nasib buruknya. Namun jawab si petani itu, "Nasib buruk? Nasib baik? Siapa yang tahu?"
Seminggu kemudian, kuda itu kembali dengan membawa kawanan kuda liar dari pegunungan dan kali ini para tetangga mengucapkan selamat kepada petani tua akan keberuntungannya. "Nasib baik? Nasib buruk? Siapa yang tahu?" kata si petani tua itu.
Kemudian, ketika anak si petani tua itu berusaha menjinakkan salah satu kuda liar, ia terjatuh dari punggung kuda itu dan kakinya patah. Semua tetangganya kembali setuju bahwa ini adalah sebuah keberuntungan yang sangat buruk. Petani itu menjawab, "Nasib buruk? Nasib baik? Siapa yang tahu?"
Beberapa minggu kemudian, tentara dari pemerintah masuk ke desa-desa dan memaksa setiap pemuda yang berbadan sehat untuk pergi berperang dalam perang yang berdarah. Ketika mereka melihat bahwa anak petani tua ini mengalami patah kaki, mereka tidak memilihinya. Beberapa minggu setelah peperangan, ada berita bahwa banyak anak-anak dari tetangga si petani tua itu berguguran di medan perang. Semua penduduk desa itu bersedih hati dan berkata kepada si petani tua itu sangat beruntung bahwa anaknya tidak ikut dalam perang. Petani tua itu kembali menjawab, "Nasib baik? Nasib buruk? Siapa yang tahu?"
THINGS TO LEARN:
Kejadian dalam kehidupan kita ini mirip kisah di atas. Kadang sepertinya segala sesuatu berjalan lancar sebagaimana mestinya, namun di lain waktu, segala sesuatu berjalan di dalam situasi yang buruk. Nah, pertanyaannya apakah kita membiarkan perasaan 'up and down' karena keadaan semacam itu mendikte kehidupan dan cara pandang kita terhadap kehidupan ini? Apakah ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, lalu perasaan kita menjadi sukacita dan berpikir Immanuel - Tuhan beserta kita? Tapi jika sebaliknya, ketika kita sedang dalam situasi yang buruk, lalu perasaan kita menjadi patah semangat dan berpikir bahwa Tuhan meninggalkan kita?
Lagi-lagi kita belajar dari rasul Paulus di dalam Filipi 4. Rasul Paulus telah belajar untuk bersukacita (ay. 4 - Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!), bahkan dia mengalami damai sejahtera dalam semua keadaan (ay. 7). Rasul Paulus bersukacita ketika hal-hal baik terjadi dalam hidupnya, namun dia pun bersukacita ketika hal-hal buruk itu terjadi - ingat, waktu dia menulis surat kepada jemaat di Filipi, mereka sedang terancam aniaya dan dia sedang di dalam penjara. Sepertinya anjuran nats di atas tidak realistis dan mustahil untuk dilakukan, tetapi perintah ini dianjurkan (ay. 4) oleh rasul Paulus, saat dia mengalami penderitaan!
Mengapa rasul Paulus bisa mengalami kebahagiaan dan sukacita yang luar biasa? Karena rasul Paulus mempunyai damai sejahtera dari TUHAN, yang melampaui segala akal, di dalam Kristus Yesus. Sukacitanya tidak tergantung pada situasi baik maupun buruk, sukacitanya tidak tergantung pada peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Tapi sukacita yang keluar dari hati, jiwa dan pikiran yang telah dipenuhi damai sejahtera TUHAN Yesus Kristus.
Persoalan hidup bisa saja membebani kita secara fisik, emosi dan rohani, namun saat kita belajar mempercayai TUHAN, maka kita dapat memiliki kedamaian yang tidak hanya melampaui segala pemahaman, tetapi juga mengatasi kecemasan kita, karena TUHAN telah membuat hati, jiwa dan pikiran kita menjadi tenang. Sehingga kita dapat berkata, bahwa segala sesuatu TUHAN turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia ( Roma 8:28 ). - Nah, pertanyaan terakhir, apakah kita sekarang telah memiliki damai sejahtera dari TUHAN YESUS KRISTUS, seperti rasul Paulus?
WISDOM WORDS:
"Di dalam Alkitab tidak pernah dituliskan, bahwa sukacita itu tergantung pada situasi dan peristiwa."
"Situasi di mana Anda hidup tidak harus hidup dalam Anda."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar